Selasa, 20 Juli 2010

Pemenang Pilkada Menanggung Utang dari Investor

LEMBAGA survei dan konsultan politik dalam berbagai event pemilihan umum sepertinya tidak sekadar kepentingan profit belaka namun telah menjelma sebagai sebuah industri baru.
Keberadaan keduanya seolah menjadi bagian integral dalam tim yang tak dapat dipisahkan dari kanditat, bahkan bisa dikatakan setara dengan tugas yang dilakoni tim pemenangan kandidat, tim pencitraan, dan tim pengumpul dana.
Tema tersebut menjadi pembahasan dalam diskusi Tribun dengan Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) di Kantor Pengurus Besar Darud Dakwah Wal Irsyad (PB DDI), Jl Nuri, Makassar, Selasa (20/7).
Hadir dalam diskusi tersebut pendiri Batu Putih Syndicate Syamsul Bachri Sirajuddin, dosen Fisip Unhas Ishak Rahman, Koordinator ISPP Iskandar Pasadjo, Direktur LMPP Muhammad Talib, akademisi UNM Aslan Abidin, akademisi UIN Wahyuddin Halim MA, dan Ali Ngampo dan lainnya.
Turut hadir Koordinator Tim Pejuang Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, Bachrianto Bachtiar, Sekjen PB DDI Azhar Arsyad, dan pendiri Inquire Institute AM Iqbal Parewangi..
Menurut Iskandar, kiprah konsultan dan lembaga survei politik sudah dipraktikkan di Amerika sejak tahun 1920. "Survei elektabilitas dimulai di Amerika 1920 dan berkembang sampai hari ini di Amerika. Tugasnya memandu pemilu menjadi lebih sehat. Di AS, tidak dikenal money politics, tapi fun rising," jelas Iskandar.
Sayangnya, kata Iskandar yang akrab disapa Acos, posisi konsultan politik di Indonesia masih sangat beda dengan Amerika.
"Di daerah kita ini, ada kandidat yang menggunakan lembaga survei untuk menjustifikasi posisinya untuk menarik investor sehingga apapun hasil pilkada akan mendatangkan penderitaan. Yang menang menderita berkepanjangan, yang yang kalah menanggung beban utang luar biasa dari investor," ujar Iskandar.
Azhar yang Ketua GP Anshor Sulsel menyayangkan lembaga survei dan konsultan politik yang awalnya diharap dapat menjadi guide line ternyata belum memberikan pembelajaran politik yang baik kepada masyarakat, malah justru turut terjebak dalam kepentingan pragmatis.
Akibatnya, keberadaannya lebih dominan sebagai alat rekayasa sosial ketimbang sebagai pengawal pergerakan calon.(syekhuddin/as kambie)