Sabtu, 24 Juli 2010

Preman Biang Kerok Demo Ricuh Mahasiswa

Dari Diskusi Meja Bundar untuk Makassar Damai (1)

WALI Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin menantang mahasiswa Makassar untuk menyepakati komitmen dan aturan pola pergerakan agar tidak lagi mengganggu kepentingan dan ketertiban umum.
Tantangan tersebut dilontarkan Ilham dalam serial keenam diskusi meja bundar di Warkop Phoenam, Jl Boulevard, Makassar, Jumat (23/7). Sesi tersebut mengusung tema Pengaruh Aksi Demonstrasi Mahasiswa Terhadap Iklim Investasi dan Ekonomi di Sulsel.
Hadir sebagai pembicara, Ketua HIPMI Sulsel Yudhi Ondong, pakar ekonomi Unhas Dr Idrus Taba, dan sejumlah perwakilan aktivis dan mantan aktivis mahasiswa di Makassar. Diskusi tersebut kembali Ilham.
Belakangan, turut bergabung mantan anggota DPR RI Ali Mochtar Ngabalin dan pakar komunikasi politik Effendy Ghazali yang mengaku datang jauh-jauh dari Jakarta untuk minum kopi dengan Ilham.
Idrus Taba memulai pembicaraannya dengan mencoba memetakan kelompok mahasiswa yang ada di Makassar. Menurutnya, ada mahasiswa aktivis tulen, aktivis penggembira, mahasiswa skeptis yang hanya tahu kampus, kost, dan kampung, serta mahasiswa preman.
Untuk golongan terakhir, meskipun jumlahnya sedikit namun rupanya masih berpengaruh terhadap iklim mahasiswa di kampus. Golongan tersebut lebih cenderung mengeruk keuntungan ekonomi ketimbang belajar.
"Tidak bisa dipungkiri, golongan terakhir ini masih banyak memengaruhi iklim kampus dan mereka lebih banyak mengeruk keuntungan ekonomi di kampus," kata Idrus.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Sulsel Yudhi menambahkan, maraknya aksi demontrasi mahasiswa yang diberitakan dalam berbagai media memberikan pengaruh negatif terhadap iklim investasi.
Sebagai pakar komunikasi, Effendy mengatakan setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya aksi "ngotot" mahasiswa Makassar saat aksi di jalan raya.
Persoalan karakter mahasiswa Makasar yang tegas, tuntas, dan tidak suka dengan hal-hal yang ditutup-tutupi diakui sebagai ranking pertama penyebab kerapnya demo mereka berakhir ricuh.
Selanjutnya persoalan tradisi yang sudah terlanjut tertanam dalam benak mahasiswa, kalau tidak bentrok tidak seru dan tidak ramai.
"Dan yang terakhir adanya modifikasi dari industri media utamanya media elektronik yang lebih memilih memuat kerusuhan," kata Juru Bicara Republik Mimpi tersebut. (syekhuddin)